Creative Accounting: Tinjauan dengan Teori Akuntansi Positif

DEPOKPOS – Kreativitas dalam akuntansi, seringkali dikenal dengan istilah “creative accounting,” adalah praktik di mana perusahaan mengubah metode akuntansi atau melaporkan informasi keuangan dengan cara yang dapat memengaruhi hasil laporan keuangan mereka.

Terlepas dari kontroversi yang melingkupi praktik ini, kreativitas dalam akuntansi dapat dianalisis dengan pendekatan teori akuntansi positif. Sebagaimana yang kita ketahui, creative accounting adalah fenomena yang telah lama menjadi perhatian para akademisi, praktisi, dan regulator dalam dunia akuntansi (Adhikara 2011).

Sebagian besar kasus creative accounting melibatkan manipulasi laporan keuangan untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan atau menyembunyikan kerugian. Namun, dari sudut pandang teori akuntansi positif, praktik ini dapat dipahami sebagai respons perusahaan terhadap insentif ekonomi dan lingkungan yang ada.

Motivasi utama di balik praktik creative accounting adalah untuk memengaruhi laporan keuangan dengan cara yang menguntungkan perusahaan. Hal ini dapat mencakup mengubah metode penyusutan aset, menunda pengakuan kerugian, atau menggolongkan pengeluaran sebagai investasi.

Motivasi ini terkadang muncul sebagai respons terhadap tekanan dari pemegang saham, analis, atau pasar, yang mengharapkan perusahaan untuk mencapai target laba tertentu. Selain itu, manajer mungkin merasa tekanan untuk mempertahankan citra perusahaan yang baik di mata pemangku kepentingan (Syamsuddin 2023).

Teori akuntansi positif menekankan pada pemahaman perilaku perusahaan dalam menghasilkan informasi keuangan, dan bagaimana informasi ini mempengaruhi pemangku kepentingan. Teori akuntansi positif adalah pendekatan yang memandang praktik akuntansi sebagai hasil dari proses sosial yang terbentuk oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan pemerintah, tekanan pasar, dan insentif manajerial.

Menurut teori ini, perusahaan cenderung mengadopsi praktik akuntansi yang memberikan manfaat ekonomi terbesar bagi mereka. Oleh karena itu, creative accounting dapat dianalisis sebagai tindakan yang dilakukan oleh perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan mereka dalam kerangka insentif ekonomi yang ada (Noor 2023).

Sebuah penelitian yang relevan dengan dampak creative accounting pada pemangku kepentingan adalah artikel “Effect Of Creative Accounting On Shareholders’ Wealth: A Case Of Companies Listed On Rwanda Stock Exchange” oleh (Ugiliwabo and Mulyungi 2019). Penelitian ini mengungkapkan bahwa praktik creative accounting dapat mengurangi nilai pemegang saham dan menimbulkan ketidakpastian bagi pemangku kepentingan lainnya.

Dampak praktik creative accounting pada pemangku kepentingan dapat bervariasi tergantung pada posisi mereka dalam hierarki perusahaan. Pemegang saham, misalnya, mungkin mengalami kerugian finansial jika mereka mengandalkan laporan keuangan yang disajikan secara bias. Sebaliknya, manajer dan karyawan perusahaan mungkin mendapatkan keuntungan jangka pendek dari praktik ini, meskipun ada risiko jangka panjang jika ketahuan.

Penelitian bertemakan motivasi creative accounting pada artikel berjudul “Creative Accounting – Motives, Techniques And Possibilities Of Prevention” oleh (Remenaric 2018) dimana seringkali manajerlah yang bertanggung jawab memanipulasi informasi keuangan, karena merekalah yang memberikan panduan kepada bawahannya mengenai pelaporan keuangan.

Motivasi utama dari hal ini adalah memperoleh keuntungan pribadi, menarik investor dengan menghadirkan kebohongan citra bisnis mereka, berjuang dengan persaingan dan kondisi ekonomi, peningkatan modal, dan pemalsuan perkiraan analis mengenai kinerja bisnis, yang bertujuan untuk mencapai manfaat bagi perusahaan.

Kasus jatuhnya KAP Arthur Andersen dimulai setelah terjadinya skandal yang disebabkan oleh adanya penyimpangan akuntansi dan audit. Skandal tersebut memberikan kerugian yang sangat jauh dari kata sedikit, yakni $74 miliar. Tak hanya itu saja, skandal memalukan itu juga membuat banyak karyawan mesti rela kehilangan pekerjaan mereka.

Kasus itu pertama kali merebak ke permukaan pada tahun 2001, tepatnya bulan Desember, ketika sebuah perusahaan energi yang berbasis di Houston bernama Enron Corporation mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 di pengadilan New York, Amerika Serikat.

Padahal, setahun sebelumnya, Enron masih berada dalam puncak kesuksesan; perusahaan tersebut membukukan pendapatan sebesar 111 miliar dollar AS dan memiliki karyawan yang mencapai jumlah 21.000 orang. Akan tetapi, keadaan mulai berubah ketika harga saham perusahaan menurun drastis, dari yang semula berada di angka 90,75 menjadi hanya sebesar 0,26 dollar AS saja. K

enneth Lay, sebagai salah satu CEO, tentu mesti mengambil tindakan; ia menjual saham Enron-nya dalam jumlah besar dan mendorong pegawai-pegawainya untuk membeli lebih banyak lagi saham. Hingga akhirnya, hasil yang didapat justru sama sekali tidak positif; harga saham Enron tetap tak terselamatkan, sementara rekening tabungan para karyawannya pun terus merosot.

Pada akhir tahun, nasib Enron masih tak kunjung membaik; perusahaan tersebut sudah merugikan investor hingga jumlah yang mencapai miliaran, melikuidasi sekitar 2,1 miliar dollar AS, serta masih banyak kenahasan-kenahasan lainnya.

Kemudian, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan, diketahui bahwa Enron Corporation sudah menggelembungkan pendapatannya dengan cara menyembunyikan kerugian dan segala macam utang di anak perusahaan mereka.

Sampai akhirnya, pemerintah Amerika Serikat mengambil langkah tegas; Kenneth Lay dan Jeffrey Keith Skilling, sebagai CEO perusahaan, masing-masing dijatuhi hukuman pidana. Pada Juli 2004, Skilling didakwa atas 35 tuduhan perdagangan orang dalam, penipuan, dan konspirasi.

Sementara itu, nasib Lay juga sama mengenaskannya; ia didakwa dengan kasus kejahatan serupa sekitar dua tahun setelah rekannya tersebut, yakni tepatnya pada 30 Januari 2006 di Houston. Enron Corporation sendiri harus mengalami keruntuhan pada kuartal ketiga tahun 2001–tercatat sebagai kebangkrutan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat (Ramadhana 2023).

Pada tahun 2002, terdapat skandal keuangan yang dilakukan Bank Lippo Tbk. yang memberikan laporan berbeda ke publik dan manajemen BEJ. Dalam laporan keuangan per 30 September 2002 yang disampaikan ke publik pada 28 November 2002 disebutkan total aktiva perseroan Rp 24 triliun dan laba bersih Rp 98 miliar.

Namun dalam laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002 total aktiva perusahaan berubah menjadi Rp 22,8 triliun rupiah (turun Rp 1,2 triliun) dan perusahaan merugi bersih Rp1,3 triliun. Perbedaan laporan keuangan itu segera memunculkan kontroversi dan polemik.

Manajemen beralasan perbedaan itu terjadi karena ada penurunan aset yang diambil alih atau foreclosed asset dari Rp 2,393 triliun menjadi Rp 1,420 triliun. Akibatnya pada keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) dari 24,77 menjadi 4,23%. Namun beberapa pihak menduga perbedaan laporan keuangan terjadi karena ada manipulasi yang dilakukan manajemen.

Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, BAPEPAM memberikan kesimpulan terhadap kasus tersebut bahwa hanya terdapat 1 (satu) Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diaudit dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian, laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002 adalah laporan keuangan yang tidak diaudit.

Namun angka-angkanya sama seperti yang tercantum dalam Laporan Auditor Independen, laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan ke BEJ pada tanggal 27 Desember 2002 adalah laporan keuangan yang tidak disertai Laporan Auditor Independen dan telah terdapat penilaian kembali terhadap Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), dan perbedaan antara laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk hanya disebabkan oleh adanya penyesuaian penilaian kembali atas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP).

Implikasi creative accounting yang terjadi pada kasus ini berupa perspektif informasi dengan memberikan pilihan informasi laporan keuangan kepada pengguna dalam berbagai versi. kasus ini terdeteksi adanya suatu tindakan rekayasa yang bervariasi dan berbeda yang akan diperlakukan kepada masing-masing pihak.

Dalam kasus yang terjadi, PT Bank Lippo Tbk. melakukan tindakan kecurangan, dan proses ketidak hati-hatian. Secara garis besar tindakan yang telah dilakukan adalah memanipulasi laporan keuangan (membuat laporan keuangan berganda), dan mengakui laporan keuangan yang dilaporkan telah audit sedangkan faktanya belum.

Dampak dari kelalaian tersebut dapat memicu adanya kesalahan informasi yang akan diterima oleh publik, masyarakat, terlebih pada kreditur, dan investor dapat berasumsi bahwa pihak manajemen melakukan kecurangan terhadap laporan keuangan tersebut dan berdampak pada menurunkan kepercayaan mereka terhadap PT. Bank Lippo Tbk.

Dampak selanjutnya yaitu turunnya saham sehingga pada awal tahun 2003 PT Bank Lippo tersebut memperoleh hak untuk melakukan rencana penerbitan saham baru untuk menambah modal guna menghindari kebangkrutan. Selain itu kepercayaan klien terhadap akuntan publik yang bertanggung jawab juga menurun (Stephanus 2021).

Pada akhirnya, creative accounting adalah fenomena yang masih dan akan terus menjadi perhatian dalam dunia akuntansi. Dalam konteks teori akuntansi positif, praktik ini dapat dipahami sebagai respons perusahaan terhadap insentif ekonomi dan lingkungan yang ada.

Motivasi, implikasi, dan dampaknya pada pemangku kepentingan perusahaan dapat dianalisis melalui pendekatan ini. Penelitian lebih lanjut dalam bidang ini diperlukan untuk memahami lebih dalam bagaimana creative accounting memengaruhi perilaku perusahaan dan keputusan pemangku kepentingan.

Anis fauzi , Mevita Thalita isnan, hamzah hizbullah , Nadiya syafiqah, Ahmad wilda